Mengartikan ‘Merdeka Belajar’ yang Sebenarnya

Pada saat ini (26/6), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan beserta jajarannya yang dipimpin oleh Nadiem Makarim saat ini sedang gencar-gencarnya mengadakan Program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM) sebagai salah satu inisiasi agar jajaran baik akademisi atau praktisi yang sedang dalam masa studi bersifat lebih ‘merdeka’ atau dalam konotasinya yaitu bebas untuk mempelajari suatu bidang keilmuan. Dalam praktiknya yang telah dirumuskan dari tahun 2020 hingga saat ini (2022), dengan kondisi yang sedang naik-turun akibat pandemi COVID-19. Khalayaknya, program ini bukan sesuatu yang baru namun menjadi besar akibat cakupannya lebih meluas hingga meranah pada sektor sekolah. Dalam praktiknya di Perguruan Tinggi, program MBKM ini berjalan dengan mengadakan magang bagi mahasiswa, pertukaran pelajar, ‘masuk’ ke kelas program studi lainnya, hingga saat ini perumusan diadakannya sub-program Praktisi Mengajar.

Lantas, apa maksud arti dari ‘Merdeka Belajar’ dan sebenarnya apakah program ini benar-benar ‘merdeka’?

Secara objektif, diksi yang disebut yaitu ‘merdeka’ bersifat sangat nyentrik bahkan terkesan selama ini Pendidikan di negara kita masih terkekang. Pada hakikatnya, semenjak berlakunya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi memberikan kebebasan bagi Perguruan Tinggi di Indonesia untuk mengidependensi hingga bersifat eksklusif agar dapat mengotonomi sistem pendidikannya. Salah satunya, Perguruan Tinggi Negeri yang saat ini bertransisi menjadi Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PTN-BH) yang masih menjadi polemik hingga saat ini.

Alasan menjadi polemik salah satunya permasalahan akar rumput yang ingin mengeksploitasi dan mengoligarki sistem di Perguruan Tinggi-nya masing-masing. Polemik ini juga berlaku di MBKM yang pada dasarnya tidak merdeka yang mengatasnamakan merdeka. Prediksi ini juga dapat kita kutip dari tulisan Chomsky, Dent, Gramsci, hingga Fukuyama bahwasannya keilmuan hingga model bentuk schools itu tidak dapat dimerdekakan melainkan prosesnya yang harus sesuai dengan kaidah yang sebenarnya dan tidak disisipi hal yang merusak seperti eksploitasi program, nepotisme, korupsi yang telah diprediksi pada sifat Neoliberalisme pendidikan. Praktik ini juga menjadi tanggapan ‘sinis’ bahwasannya terdapat praktek eksploitasi keilmuan yang terjadi ketika mahasiswa melaksanakan magang namun tidak mendapatkan biaya sama sekali (lihat Narasi Newsroom, 2022). Eksploitasi keilmuan ini dilihat dengan samar-samarnya masa depan yang diwacanakan dalam program ini.

Lantas bagaimana solusi dalam mengatasi ketidaktimpangan program MBKM ini?

Pada dasarnya, pemerintah perlu mengkaji ulang output apa yang sebenarnya dari program ini. Kita menganalogikan layaknya Teori Marx yang dikembangkan oleh Giddens yang mengkaji strukturasi sistem sosial pada ranah pengembangan Pendidikan yang layak bagi keilmuan. Selanjutnya, bagi Perguruan Tinggi di Indonesia perlu mengkaji ulang untuk memilah-milah dan mencoba meyakini atas dasar apa keilmuan sebenarnya digunakan. Proses pemikiran kognitif hingga pada logika mendasar tidak akan bisa disamakan antara Akademisi dan Praktisi. Kedua sifat aktor ini memiliki cara ‘mengamalkan’ keilmuan ini. Sifat yang ‘kompetitif’ ini seharusnya dihilangkan karena menimbulkan fallacy dan diprediksi akan hancurnya sistem Pendidikan di negara kita seperti yang telah diramalkan oleh Foucault. Jika program MBKM ini bersifat ‘Merdeka’ maka program ini harus berdiri sendiri dan mampu mengimplementasi secara independen dengan mengamalkan bentuk keilmuan yang sebenarnya.

(Muhammad Gunawan Wibisono)

 

Referensi:

Narasi Newsroom. 2021. Ditunggak oleh Negara: Uang Saku Pemagang Kampus Merdeka. https://www.youtube.com/watch?v=bwFypRtFvBA (diakses: 26 Juni 2022)

Dreyfus, H. L., & Rabinow, P. (2014). Michel Foucault: Beyond structuralism and hermeneutics. In Michel Foucault: Beyond Structuralism and Hermeneutics. https://doi.org/10.4324/9781315835259

Giddens, A. (2012). The consequences of modernity. In Contemporary sociological theory.

Lamsal, M. (2012). The Structuration Approach of Anthony Giddens. Himalayan Journal of Sociology and Anthropology. https://doi.org/10.3126/hjsa.v5i0.7043

Storey, J. (2021). Cultural Theory and Popular Culture: An Introduction. In Cultural Theory and Popular Culture: An Introduction. https://doi.org/10.4324/9781003011729

University of Melbourne., E., & University of Technology, S. (2016). Cultural studies review. In Cultural Studies Review (Vol. 22, Issue 1).

 

 

Tentang Penulis - Muhammad Gunawan Wibisono
Dosen & Kaprodi
Dosen & Kaprodi

Muhammad Gunawan Wibisono

Muhammad Gunawan Wibisono adalah seorang Mahasiswa tingkat akhir di Pasca Sarjana STIE Mahardhika Surabaya. Selain itu, Gunawan menjadi bagian dari Konsultan Riset Independen yang berfokus pada pengembangan keilmuan sosial dan tata kelola pemerintahan hingga manajemen kerja sama ekonomi politik internasional.


Explor Your Next

Journey

Physiological respiration involves the meensure the composition of the functional residual.