Alih Fungsi Tanah Peratanian Menjadi Non Pertanian

Pasal 9 UUPA (Undang Undang Pokok Agraria) merupakan prinsip kenasionalan, UUPA dalam Ayat (2) menyatakan bahwa, 'Tiap WNI, baik pria maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh suatu hak atas tanah serta untuk mendapatkan manfaat dan hasilnya bagi diri sendiri maupun keluarganya'. Masalahnya adalah, apakah kemauan politik Pemerintah sebagaimana dinyatakan didalam Pasal 9 Ayat (2) UUPA tersebut telah dipahami secara benar dan dilaksanakan secara BERTANGGUNG JAWAB?

Dalam kenyataannya, akses yang dijamin oleh UUPA tersebut harus diperebutkan dengan 2 penyebab lain atau 2 faktor lain, yakni PEMERINTAH dan PIHAK SWASTA yang mempunyai posisi TAWAR MENAWAR yang berbeda.

Sepenilaian saya bahwa yang terjadi di lapangan menunjukan bahwa Pasal 9 yang diciptakan dalam rangka implementasi dari amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, saat ini boleh dikatakan belum memperoleh makna yang KONGKRIT.

Intensitas pembangunan yang menuntut pembangunan yang 'menuntut' atau mengharuskan penyediaan tanah yang relatif luas untuk berbagai keperluan seperti PEMUKIMAN, INDUSTRI, dan BERBAGAI PRASARANA Memaksa alih fungsi TANAH PERTANIAN menjadi tanah non-pertanian walaupun dengan segala KONSEKUENSINYA.

Perkembangan yang terjadi boleh dikatakan hampir tidak menyentuh kepada pola kehidupan para petani seperti halnya para petani yang berada di daerah-daerah berkembang seperti halnya didaerah Kabupaten Tangerang yang pada umum ketika itu masyarakat disana adalah masyarakat tani, hal ini dibuktikan pada ketika masa itu Kabupaten Tangerang menjadi salah satu Lumbung Padi Nasional.

Perkembangan yang terjadi tersebut membuat pola kebutuhan petani semakin sulit untuk menghindari diri dari keterpaksaan melepaskan tanahnya karena pihak PERIZINAN memungkinkan ALIH FUNGSI TANAH berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Dati II yang karena alasan kepentingan pembangunan pengarahan alih fungsi tanah tersebut.

Sementara itu, dikalangan rakyat petani masih dapat dilihat kesenjangan antara mereka yang memiliki tanah yang kurang dari 2 hektar berjumlah delapan kali lipat dibandingkan dengan mereka yang memiliki luas tanah 2 hektar atau lebih. Pemilikan tanah dalam batas minimum itupun masih dimungkinkan dipecah menjadi bagian yang lebih kecil secara pewarisan.

Hubungan hukum yang terjadi berkenaan dengan pemilikan dan penguasaan tanah pertanian pada umumnya dilakukan melalui suatu lembaga, bisa saja lembaga yang dimaksud adalah lembaga gadai tanah, bagi hasil atau penyekapan. Walaupun ketentuan dalam gadai dan bagi hasil telah diterbitkan sesuai dengan UUPA, namun hubungan hukum yang terjadi pada umumnya berdasarkan pada norma-norma hukum setempat yang tidak tertulis. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa terhadap hubungan hukum tersebut, akses terhadap hak atas tanah yang dijamin oleh undang-undang itu merupakan akses yang SEMU. Keadaan terbit bisa semakin diperparah dengan gejala kepemilikan tanah secara guntai (absentee) yang justru pada kenyataannya justru memberikan akses terhadap mereka yang dari sisi kehidupannya tergantung pada usaha pertanian.

Ketimpangan serta ketidakadilan yang dapat terjadi karena KURANG BERFUNGSINYA KETENTUAN HUKUM yang ADA atau yang dilakukan melalui MENYELUNDUPAN HUKUM, sehingga menimbulkan pertanyaan, apakah tidak seharusnya berbagai ketentuan atau aturan hukum tersebut ditinjau kembali, untuk ditinjau kembali RELEVANSINYA dengan perkembangan keadaan dan disempurnakan kembali sebagaimana semestinya?
Tentang Penulis - Denny Granada
Aktifis dan Pemerhati
Aktifis dan Pemerhati

Denny Granada

Denny Granada, adalah pembina dan pendiri Yayasan Banksasuci Indonesia, lahir di Palembang tahun 1969. Penulis juga aktif di organisasi sebagai Wakil Ketua Umum Forum Wartawan Profesional Indonesia.

Berpengalaman dibidang pengamatan permasalahan perumahan, juga sebagai salah satu konseptor salah satu peraturan menteri dalam negeri yang berkaitan dengan kewajiban pengembang atau tata cara penguasaan pemerintah daerah terhadap lahan Fasum Fasos milik pengembang perumahan.

Sebagai aktifis dibidang lingkungan hidup dengan turut serta membidani Gerakan Cinta Lingkungan pada tahun 1997.

Pernah beberapa kali menjadi konsultan bagi pemerintah daerah, menjadi pembicara di beberapa pemerintahan daerah dengan materi "Solusi mencapai mufakat tentang ketersediaan lahan Fasum/Fasos" seperti di Kota Bogor, Kabupaten Sukabumi, Kota Sukabumi.

Juga pernah dipercaya oleh Dinas Lingkungan Hidup Propinsi Banten sebagai Pembicara dalam rangka memperingati hari air sedunia.

Aktif menyoroti permasalahan yang terjadi di bidang property sejak 20 tahun yang lalu, berawal dari disiplin ilmu yang diperoleh dibidang Penataran P4, hal ini bisa dibuktikan dengan beberapa kali memperoleh piagam penghargaan baik tingkat daerah maupun tingkat nasional.

Untuk saat ini Penulis menjabat sebagai Ketua DPD GNP TIPIKOR Kota Tangerang.

Kecintaan terhadap keluarga dan kawan adalah semboyannya, berprinsip satu orang musuh terlalu banyak namun seribu kawan terlalu dikit.
 

Esai Lainnya


Explor Your Next

Journey

Physiological respiration involves the meensure the composition of the functional residual.