Membangun Tanpa Menggusur

Kegiatan pembangunan yang memerlukan tanah tidak jarang menimbulkan korban di pihak pemegang hak atas tanah, hasil penggusuran tersebut bisa dilihat dalam bentuk lahir yang mengesankan, tetapi jarang yang bersedia memperhatikan nasib bekas pemegang hak. Tampaknya lebih mudah untuk menyerahkan nasib mereka kepada takdir ketimbang berupaya untuk memikirkannya, apalagi berempati dengan mereka, pemerintah seharus sudah mulai memikirkan dan mempunyai konsep serta gagasan tentang membangun tanpa menggusur, seperti halnya dibanyak tempat dengan harapan dijadikan alternatif untuk memperkecil korban yang terjadi.

Masyarakat pada umumnya berpendapat, bila tanahnya diambil alih pihak lain untuk kepentingan umum, maka bentuk kerugian yang dapat diterima adalah uang yang diperhitungkan untuk hak atas tanahnya, bangunan, tanam-tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanahnya.

Dalam kenyataannya menurut Keppres No. 55 Tahun 1993 ganti kerugian disamping uang, dapat pula berupa Tanah Pengganti, Pemukiman Kembali, kombinasi dari bentuk-bentuk tersebut, serta bentu-bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Bila tanah diambil oleh pihak lain untuk kepentingan di luar kepentingan umum, baik oleh pihak swasta maupun instansi pemerintah yang kegiatannya tidak termasuk dalam daftar kegiatan yang ditunjuk oleh pasal 5 Keppres No. 55 Tahun 1993, maka cara yang ditempuh adalah jual-beli, tukar-menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh para pihak. Selama ini menurut saya untuk menata pemukiman seharusnya dilakukan dengan cara Konsolidasi Tanah Perkotaan (KTP) pemerintah mempunyai kewenangan untuk mengusulkan kepada pihak untuk mengikutsertakan bekas pemegang hak dalam kepemilikan saham perusahaan yang mengambil alih bidang tanah tersebut.

Alternatif lain yang belum banyak dikembangkan oleh pemerintah adalah pemberian (Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa Bangunan) kepada pihak lain di atas tanah hak milik (HM) perorangan, yang dibuka kemungkinannya oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), berdasarkan pemahan bahwa HM dapat menjadi induk atau dibebani dengan hak-hak atas tanah liar/tidak pernah tergarap, pemberian hak atas tanah diatas HM itu dapat terjadi atau bisa saja dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemegang HM (pemberi hak) dan pihak yang akan menerima. Secara yuridis formalitas sudah banyak aturan yang mengatur tentang hal tersebut, perbuatan hukum pemberian hak itu hanya dapat dilakukan dengan Akta PPAT yang merupakan syarat mutlak untuk pendaftarannya, terhadap hak baru yang diberikan (HGB, Hak Pakai, Hak Sewa untuk bangunan) akan diterbitkan sertipikat ya dan terhadap HM yang dibebani akan dibubuhkan catatan pada buku tanah dan sertipikat yang bersangkutan. Walaupun secara yuridis atau aturan hukumnya sudah di atur, namun diluar itu ada hal-hal yang bersifat subtansial yang perlu dimengerti/dipahami agar alternatif ini bisa menjadi pertimbangan secara baik, bagaimanapun juga upaya pemberian hak tergantung pada kesepakatan pemegang hak (calon pembeli) dan pihak yang memerlukan tanah (calon penerima).

Bila kedua belah pihak sadar akan manfaatnya dan dapat mengatasi kendala yang mungkin dihadapi, maka alternatif dapat ditempuh sebagai upaya Membangun tanpa Menggusur, dengan cara yaitu;

Pertama : hak yang diberikan oleh perorangan ini mempunyai isi dan kewenangan yang sama dengan hak yang diberikan oleh negara sesuai dengan yang diatur oleh undang-undang pokok agraria (UUPA), dengan begitu maka HGB yang diberikan juga hanya dapat diberikan kepada subyek hak yang hanya memenuhi syarat, ada jangka waktunya, dapat dialihkan, dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan (dengan ditandatangani dari pemegang HM) apabila jangka waktunya habis, atas persetujuan pemberi hak dapat dilakukan perpanjangan dengan dibuatkan akta PPAT.

Kedua : sebagai imbalan pemberian hak tersebut, maka pemegang HM menerima uang sebagai pengganti dari penerima hak yang jumlah besarannya disepakati bersama.

Ketiga : dalam akta PPAT yang didalamnya memuat pemberian hak isi perjanjiannya harus memuat kewenangan dan kewajiban masing-masing pihak,semisalnya adanya ketegasan bagaimana penyelesaiannya apabila pejanjian tersebut berakhir. Terutama yang berkaitan dengan bangunan yang ada diatas HM tersebut.

Kendala/masalah yang dihadapi adalah, bahwa tidak mudah untuk memperoleh kata sepakat dengan banyak pihak, terlebih bila tanah yang diperlukan meliputi areal yang relatif luas, namun, bila disadari bahwa pemegang HM alternatif ini secara psikologis tidak membuat mereka tergusur dan bagi penerima hak tetap dapat memperoleh hak atas tanah sesuai dengan apa yang di inginkan, maka upaya untuk mencapai kesepakatan bukanlah merupakan hal yang mustahil. Kendala/masalah yang lainnya adalah kemungkinan pemegang HM belum mempunyai sertipikat tanah yang merupakan dasar untuk memproses pemberian hak tersebut. Karena keberadaan sertipikat akan mempermudah proses pemberian hak.

Alternatif diatas dapat terwujud bila ada keberanian untuk memeloporinya, Dalam situasi dimana kepedulian terhadap nasib orang lain merupakan hal yang langka ditemui, gagasan diatas perlu direnungkan bahkan mungkin bisa ditindaklanjuti.


Tentang Penulis - Denny Granada
Aktifis dan Pemerhati
Aktifis dan Pemerhati

Denny Granada

Denny Granada, adalah pembina dan pendiri Yayasan Banksasuci Indonesia, lahir di Palembang tahun 1969. Penulis juga aktif di organisasi sebagai Wakil Ketua Umum Forum Wartawan Profesional Indonesia.

Berpengalaman dibidang pengamatan permasalahan perumahan, juga sebagai salah satu konseptor salah satu peraturan menteri dalam negeri yang berkaitan dengan kewajiban pengembang atau tata cara penguasaan pemerintah daerah terhadap lahan Fasum Fasos milik pengembang perumahan.

Sebagai aktifis dibidang lingkungan hidup dengan turut serta membidani Gerakan Cinta Lingkungan pada tahun 1997.

Pernah beberapa kali menjadi konsultan bagi pemerintah daerah, menjadi pembicara di beberapa pemerintahan daerah dengan materi "Solusi mencapai mufakat tentang ketersediaan lahan Fasum/Fasos" seperti di Kota Bogor, Kabupaten Sukabumi, Kota Sukabumi.

Juga pernah dipercaya oleh Dinas Lingkungan Hidup Propinsi Banten sebagai Pembicara dalam rangka memperingati hari air sedunia.

Aktif menyoroti permasalahan yang terjadi di bidang property sejak 20 tahun yang lalu, berawal dari disiplin ilmu yang diperoleh dibidang Penataran P4, hal ini bisa dibuktikan dengan beberapa kali memperoleh piagam penghargaan baik tingkat daerah maupun tingkat nasional.

Untuk saat ini Penulis menjabat sebagai Ketua DPD GNP TIPIKOR Kota Tangerang.

Kecintaan terhadap keluarga dan kawan adalah semboyannya, berprinsip satu orang musuh terlalu banyak namun seribu kawan terlalu dikit.
 

Esai Lainnya


Explor Your Next

Journey

Physiological respiration involves the meensure the composition of the functional residual.