Ras Yang Hidup Dengan Sensasi

Sewaktu sakit kemarin, kaya ada yang berbeda waktu saya melihat cermin. Tampang yang kuyu dan kumis dan jenggot yang awut-awutan membuat saya terlihat menyedihkan.

Bukan cuma menyedihkan, saya juga melihat makhluk yang rapuh disana. Kemudian saya lihat tangan dan anggota tubuh lain yang sering kita banggakan ini, sama saja, terlihat rapuh di mata saya waktu itu.

Padahal katanya, saya, anda, kita semua ras manusia, diciptakan sesempurna-sempurnanya penciptaan.

Iya sempurna, tapi rapuh.

Mungkin itu efek sakit ketika sebagian fungsi dan hormon tubuh tidak bekerja maksimal karena digerogoti virus. Hormon-hormon baik dan pencipta bahagia seperti dopamine, serotonin, oksitosin dan endorphin sedang nyungsep dan tidak berdaya karena geraknya mungkin sedang dibatasi dan di lockdown oleh virus.

Akibatnya sensasi-sensasi yang muncul adalah sensasi-sensasi tidak berdaya dan suram tadi. Mungkin ini pulalah yang seringkali secara kejiwaan bikin drop mereka yang terpapar covid dan pada akhirnya berakibat fatal itu.

Tetapi setelah seluruh hormon baik itu kembali seiring kondisi yang kian pulih, saya menemukan bahwa apa yang saya lihat di cermin itu benar adanya, bukan karena efek baper akibat sakit.

Pertama, karena memang kita ras manusia –yang katanya memiliki kekuatan dahsyat di dalam dirinya berupa kemampuan berpikir, berimajinasi dan mengeksplorasi—adalah makhluk yang sangat tergantung dan dipengaruhi sensasi-sensasi aneh dalam dirinya ketika harus merespon, bersikap atau bertindak.

Ketimbang menggunakan kekuatan pikirannya yang dahsyat itu, manusia lebih banyak menyerah kepada sensasi ingin kesenangan dan takut penderitaan, yang entah datang darimana itu, dan membiarkan sensasi itu menguasai hidup dan keputusan-keputusannya.

Daripada melihat fakta bahwa tingkat kesembuhan dari covid ini mencapai lebih dari 98% dan banyak orang yang survive dengan langkah-langkah pemulihan tertentu yang bisa bikin semangat, saat sakit itu, lebih enak memang untuk memperturutkan sensasi tidak berdaya di dalam diri yang bikin melow. Atau memperturutkan emosi untuk menyalahkan orang lain yang menjadi penyebab semua kekacauan ini.

Kita lebih suka memanjakan diri dengan makan enak penuh lemak dengan berbagai alasan (apalagi kalo gratis) daripada mengingat bahwa ada resiko kesehatan disitu. Kita lebih suka memperturutkan keinginan untuk tidur dan tidur lagi di pagi hari dibandingkan menggerakan badan. Padahal kita tahu manfaat menggerakan badan untuk kebugaran.

Pengetahuan tentang kesehatan tidak berdaya ketika dihadapkan dengan sensasi enak dan nyaman dari eat, sleep, repeat.

Misalnya juga, daripada mengikuti langkah-langkah logis dan saintifik dalam penanganan pandemi, ada segelintir ras manusia yang lebih mengedepankan sensasi kuasa dan cuan. Sehingga apa yang seharusnya bisa dikelola seperti menjadi liar.

Dengan kata lain, ras manusia yang katanya sempurna dengan akal dan hati itu lebih suka memperturutkan emosi dan sensasi sesaat dan merusak. Kata anak sekarang lebih sering “in-se-kyur” daripada “me-cer”.

Ekspresinya adalah marah, menguasai, menelikung, menghancurkan, menghabisi, memusuhi, mengeksploitasi, dan segala macam tindakan negatif lainnya untuk menutupi kerapuhannya. Seringkali akibatnya harus ditanggung oleh dirinya dan manusia lainnya.

Kedua, korban yang jatuh oleh karena perilaku negatif yang didorong oleh sensasi yang tidak bisa dikelola itu terlalu banyak. Siapa korbannya? Sayangnya bukan cuma ras manusia, melainkan juga binatang, tumbuh-tumbuhan serta bumi ini secara keseluruhan.

Sudah berapa banyak hewan yang punah dan area hutan yang dibabat dari muka bumi ini oleh karena pemenuhan sensasi insekyur ras manusia ini? Sudah berapa gunung yang harus dihancurkan, laut yang harus dieksploitasi dan dicemari, daratan yang harus ditenggelamkan atau dimunculkan?

Pemenuhan manusia akan sensasi-sensasi itu apakah berujuang kebahagiaan?

Tidak. Justru melahirkan penderitaan luar biasa untuk ras manusia itu sendiri.

Setidaknya ada 50 – 80 juta manusia mati sepanjang Perang Dunia II. Paska perang dunia, ada ratusan juta manusia yang harus meregang nyawa karena berbagai macam perang, konflik dan perseteruan. Ada 9 juta manusia yang mati tiap tahun karena kelaparan atau penyakit akibat kekurangan makan. Tiap Tahun 60 ribu manusia meninggal karena banjir, tanah longsor dan lain-lain.

Terpapar penyakit? Ada 770 ribu manusia mati karena Aids, 1,5 juta orang mati tiap tahun karena diabetes dan gula. Daftar ini panjang sekali jika harus dilanjutkan.

Dan kini sudah lebih dari 4 juta orang di seluruh dunia yang meninggal karena covid-19, serta milyaran yang hidup dalam cemas dan was-was.

Ketiga, atas semua kerusakan yang ditimbulkan oleh karena perang, penyakit, bencana seperti diatas, ras manusia pun meresponnya dengan baper yang sama. Memperturutkan lagi sensasi aneh yang membuatnya tidak bahagia, depresi, sedih, cemas dan ujung-ujungnya menderita.

Atau dalam situasi sulit seperti sekarang, bisnis mandek atau kehilangan sumber penghasilan, seringkali menimbulkan sensasi penderitaan yang diperturutkan dengan cara merusak diri, entah dengan narkoba atau dengan depresi berkepanjangan yang menggerogoti imun dan iman.

APA YANG HARUS DILAKUKAN?

Pertama, PR terbesar ras manusia sepanjang masa adalah mengelola sensasi-sensasi itu.

Namanya sensasi dia muncul begitu saja dan bersifat reaktif. Tapi dia akan hilang dengan sendirinya ketika akal sehat tiba. Oleh karena itu kelolalah akal sehat dan hati nurani Anda untuk selalu menang ketika berhadapan dengan sensasi aneh dari dalam diri tadi, dalam situasi apapun.

Baik sensasi mencari dan mendapatkan kesenangan secara instan atau sensasi menghindari penderitaan. Dua-duanya sama-sama punya daya rusak jika diperturutkan berlebihan.

Berhenti sebentar, fikir lagi, jangan dulu merespon jika anda tahu anda belum siap dengan konsekwensinya. Tarif nafas, duduk sebentar atau sekedar minum segelas air putih akan banyak membantu mengembalikan akal sehat.

Kalo anda orang beriman, bantulah dengan berwudhu, solat atau berdoa.

Kedua, jika anda sudah bisa melakukan langkah pertama diatas, berjanjilah untuk membantu orang lain mendapatkannya juga.

Bantulah mereka supaya sensasi positif dan hormon baik mereka bekerja sehingga perilaku mereka juga positif terhadap lingkungan.

Bagaimana caranya?

Berhentilan menghina dan mengolok-olok orang lain yang berbeda. Berbicaralah yang baik-baik saja atau diam. Tahan diri anda dari memberi komentar atau postingan negatif. Dorong dan apresiasi setiap pencapaian dan usaha. Bantu dan berkontribusilah dalam proyek-proyek kebaikan dengan cara yang Anda mampu, dan masih banyak cara yang lain yang bisa kita lakukan.

Bekal kita cukup dan sama kok sebagai ras manusia yang sempurna, yaitu akal sehat dan hati nurani.

Selamat mencoba ya dan stay safe.

Sumber:
https://alidamanik.net/2021/07/17/ras-yang-hidup-dengan-sensasi/


Tentang Penulis - Ali Damanik
Leadership Development
Leadership Development

Ali Damanik

Ali Damanik adalah praktisi, trainer dan  pembicara publik dalam program pengembangan kepemimpinan (Leadership Development) dan Sumber Daya Manusia.
Merupakan Co-Founder dan Partner dari Kinerja-BlessingWhite, sebuah firma konsultan pengembangan SDM dan Kepemimpinan, yang merupakan exclusive partner dari BlessingWhite Inc, yang berpusat di New Jersey – USA dan beroperasi di lebih dari 60 negara di seluruh dunia.
Pernah bekerja sebagai professional di Bank Niaga, Citibank dan Paragroup (CT Corpora), konsultan di Dunamis Organization Services dan MarkPlus Inc, serta pengajar dan peneliti di FISIP UI.
Menyelesaikan studi di Departemen Sosiologi FISIP-UI, Dept of International Studies, Ohio University, USA dan Program Pasca Sarjana, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada (UGM).

Saat ini tinggal di Tangerang dan dapat dihubungi di This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.
Blog pribadi www.alidamanik.net


Explor Your Next

Journey

Physiological respiration involves the meensure the composition of the functional residual.