Cerita Kecil di Kolam Kecil

Saat liburan kemarin saya menghabiskan waktu diantaranya dengan memancing.  Aktivitas yang entah sudah berapa puluh tahun tidak pernah lagi saya lakukan.  Kebetulan di sekitar kampung istri saya banyak terdapat kolam-kolam ikan peliharaan penduduk. 

Yang menjadi nilai lebihnya adalah saya memancing dengan ditemani panorama khas lukisan alam –yang pada masanya— banyak di gantung disekolah-sekolah dan rumah-rumah zaman dulu; bukit dan gunung disekeliling, kemudian hamparan sawah menguning serta gemericik air sungai.  Berada di tempat seperti itu, otak saya kosong dari sebuah konsep ruwet bernama Ibu Kota beserta segenap persoalannya.

Apalagi ketika ditengah-tengah asyiknya mancing, kami disuguhi penganan oleh si empunya kolam yang sepertinya kok pas dengan lanskap semacam itu; kacang dan ubi rebus serta kelapa muda yang diambil langsung dari pohon di sisi-sisi kolam. Aihh…siapa peduli Ibukota mau dipindah atau tidak?

Aktivitasnya memancingnya sendiri mengasyikan.

Kami berlima –saya, istri saya, anak saya, kakak ipar dan seseorang yang kami panggil sebagai  Apih, saudara jauh istri saya yang mempunyai kolam ikan tersebut—tidak perlu menunggu lama untuk mendapatkan hasil. Nyaris kesabaran tidak dibutuhkan sama sekali disini. 

Anak saya (dan saya juga sebetulnya) yang pemancing amatiran pun beberapa kali mendapatkan 2 ekor ikan sekaligus yang menyambar mata kailnya. Dia melompat-lompat kegirangan. Sehingga tidak sampai 1 jam, kami sudah mendapatkan lebih dari 2 kilo ikan. Tetapi ikannya masih imut-imut, seukuran 2 atau 3 jari orang dewasa.

Kalau Tuhan Sang Maha Pemberi Rejeki sudah menebar bongkahan-bongkahan rejeki itu di setiap sudut bumi, maka ini adalah jalan mendapatkan rejeki yang paling mudah.  Modal kami hanya pancingan dan umpan serta sedikit usaha memasang umpan di mata kail, setelah itu melemparkannya ke tengah-tengah kolam.  

Sim salabim….hap… Mata kail langsung di sambar oleh ikan-ikan rakus yang seolah berbulan-bulan tak diberi makan. Usaha yang tidak seberapa dibanding pontang-panting di Ibu kota;  berangkat pagi-pagi buta ke kantor, dihantam macet berjam-jam di jalan, mengerjakan pekerjaan yang tidak disukai seharian, diomelin bos, untuk kemudian hasilnya selalu dirutuki di akhir bulan.

Singkat kata singkat cerita, acara mancing kami hari itu sukses besar.  Kebahagiaan kecil yang kami syukuri.  

Kami memancing di kolam besar. Ada satu kolam lagi yang lebih kecil disebelahnya.  Sangat dekat jarak keduanya, sebagaimana dekatnya jarak teman-teman satu angkatan sebelum era pilpres dan pilgub.

Awalnya kami tidak tertarik untuk mancing di kolam itu. Mungkin karena ukuran kolamnya yang lebih kecil, terlihat kotor karena banyak sampah daun-daun kelapa, serta agak panas.  Padahal katanya disitu juga ada ikannya.

Tetapi setelah sukses di kolam besar itu, saya (yang kebetulan agak senang mengeksplorasi) mengajak yang lain untuk pindah mancing ke kolam lebih kecil itu. Mencoba peruntungan baru, siapa tau dapat ikan lebih besar. Tetapi mereka –termasuk anak saya— rupanya lebih senang dengan yang pasti-pasti saja.

Kolam besar, teduh, tersedia tikar dan penganan lengkap, ikannya jelas ada dan mudah ditangkap, meski kecil-kecil.  Ngapain pindah ke tempat yang tidak pasti? Begitu mungkin pikir mereka.  

Akhirnya saya yang pindah sendirian.

Betul saja. Di kolam kecil itu kesabaran sangat dibutuhkan. Beberapa kali saya melembar kail untuk kemudian menggantinya dengan umpan baru.  Begitu terus. Tempatnya agak panas dan bikin saya sedikit gelisah. Tetapi saya melihat ada gerakan-gerakan ikan besar di sana.

Saya hampir memutuskan untuk kembali ke kolam besar karena lebih dari 15 menit umpan saya tidak kunjung disentuh sang ikan.  Sampai kemudian sebuah tarikan kencang membetot tali pancing saya dan saya berjuang lebih keras dari sebelumnya untuk menarik ikan itu ke permukaan.

Eureka…Ikan Mas, ukuran satu telapak orang dewasa.  Setelah itu ada 2 ikan dengan ukuran yang kurang lebih sama yang saya dapat di kolam itu lagi. Tetapi ya itu, butuh waktu lebih lama untuk mendapatkannya. Tidak semudah seperti di kolam besar sana.

Melihat sukses lebih besar itu, anak sayapun tergoda untuk pindah dan mencoba di kolam kecil.  Tetapi ya dasar anak-anak, kesabaran buat mereka terlalu abstrak untuk dijalani. Jadi setelah 2 menit pancingannya tak disentuh ikan, diapun kembali ke kolam besar.
______________

Saya tahu, ada banyak teman yang berharap bisa pindah dari kolam-kolam besar kehidupannya yang nyaman tetapi menggelisahkan, dan mencari kolam kecil penuh ketidakpastian tetapi bikin penasaran sekaligus menggairahkan.

Cerita diatas adalah kisah nyata dan sangat personal. Kesamaan konteks dan perasaan hanyalah kebetulan belaka. tidak ada maksud untuk memprovokasi anda untuk mengambil keputusan apapun dengan segera.

Tetapi, sebagai orang yang memang pernah mengambil keputusan pindah dari “kolam-kolam besar” kehidupan (bekerja di perusahan mapan, multi- nasional, dengan jabatan dan prestasi mentereng), dan masuk ke sebuah “kolam kecil” ketidakpastian, modalnya dua: nyali dan keyakinan.

Pindah atau tidak pindah kolam sepenuhnya adalah keputusan pribadi. Jangan pernah mengambil keputusan karena terpengaruh dan terintimidasi pendapat orang lain. Kalau itu yang anda lakukan, artinya anda tidak tahu apa yang anda cari dalam hidup. Hidup anda di atur oleh pendapat dan apa kata orang.

Saya bukan jenis orang yang menganjurkan rumus sukses “ayo pindah kuadran”  atau…“disana pasti lebih baik” atau “kalau orang lain bisa, kamu pasti bisa” dan seterusnya yang seolah-olah pukul rata itu.

Saya tetap percaya, apa yang pas buat orang lain, belum tentu pas untuk diri kita.
 

Tugas anda adalah mencari tahu keunikan anda sendiri (minat, bakat, kekuatan dan kelemahan) anda sehingga anda sendiri yang tahu apa yang pas buat anda.  Dari situ, ukirlah visi kehidupan seperti apa yang ingin anda jalani di masa depan yang cocok dengan potensi anda itu. Gabungkan itu semua dengan usaha keras dan doa tak putus-putus.  Setelahnya jalani dengan penuh keikhlasan dan ketundukan.

Tetap di kolam besar seperti sekarang, baik. Pindah ke kolam kecil yang bikin penasaran dan menggairahkan itu juga baik. Selagi itu diputuskan dari kesadaran diri yang matang seperti diatas. Sebab masing-masing nanti akan menagih konsekwensinya.

Tetapi untuk mereka yang pada akhirnya tetap ingin pindah kolam, nomor satu yang kalian butuhkan adalah; nyali.

Itu dulu.  Yang lain menyusul belakangan.

Kalo itu tidak ada, sebaiknya anda jalani hidup di kolam yang sekarang dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati.

Tangerang, Juli 2017

Sumber:
https://alidamanik.net/2017/07/20/cerita-kecil-di-kolam-kecil/

Tentang Penulis - Ali Damanik
Leadership Development
Leadership Development

Ali Damanik

Ali Damanik adalah praktisi, trainer dan  pembicara publik dalam program pengembangan kepemimpinan (Leadership Development) dan Sumber Daya Manusia.
Merupakan Co-Founder dan Partner dari Kinerja-BlessingWhite, sebuah firma konsultan pengembangan SDM dan Kepemimpinan, yang merupakan exclusive partner dari BlessingWhite Inc, yang berpusat di New Jersey – USA dan beroperasi di lebih dari 60 negara di seluruh dunia.
Pernah bekerja sebagai professional di Bank Niaga, Citibank dan Paragroup (CT Corpora), konsultan di Dunamis Organization Services dan MarkPlus Inc, serta pengajar dan peneliti di FISIP UI.
Menyelesaikan studi di Departemen Sosiologi FISIP-UI, Dept of International Studies, Ohio University, USA dan Program Pasca Sarjana, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada (UGM).

Saat ini tinggal di Tangerang dan dapat dihubungi di This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.
Blog pribadi www.alidamanik.net


Explor Your Next

Journey

Physiological respiration involves the meensure the composition of the functional residual.