Diplomasi Anak-Istri

Beberapa waktu lalu saya dan seorang teman diundang untuk berbincang dengan beberapa orang mantan pimpinan sebuah lembaga tinggi negara.

Oleh karena keberhasilan mereka memimpin lembaga itu di masa lalu, merekapun diminta untuk menjadi konsultan internal sang mantan dan sedang menyiapkan program pengembangan.

Problemnya klasik.

Pimpinan-pimpinan yang baru dianggap masih kebingunan mengurus lembaga maha penting perawat demokrasi itu, sehingga seperti tak tentu arah.

Dengan sistem kolektif-kolegial yang diterapkan disitu, dan setelah lebih dari satu tahun terpilih, para pimpinan seperti jalan masing-masing.  Tidak ada koordinasi, ego sektoral, ego latar belakang dan tak bekerja sebagaimana mestinya sebagai sebuah tim.  Yang satu mau ke utara dan yang lain mau ke selatan.  Dalam banyak kasus, satu sama lain seperti kucing dengan anjing.

Padahal nasib dan keberlangsungan demokrasi bangsa ini, diantaranya, ada di tangan para pimpinan itu.

Situasinya jauh berbeda dengan masa para mantan ketika masih jadi pimpinan dahulu.

Ketika itu diantara para pimpinan sangat harmonis dan kompak. Satu sama lain bekerja serasi dan saling mendukung. Tidak ada yang berebutan panggung dan lampu sorot. Semuanya malah saling mengikhlaskan dan mempersilakan untuk sebuah kepentingan besar bernama; kepentingan bangsa dan negara.

Masa itu mereka biasa makan bareng di sela-sela pekerjaan yang sangat stressful. Masih bisa pergi dan tamasya bareng di tengah-tengah schedule deadline yang melibatkan ratusan juta rakyat Indonesia.  Bukan cuma sesama mereka, tetapi  bareng dengan anak dan istri mereka.

Jadi ceritanya, begitu mereka dipilih sebagai pejabat, mereka tinggal di komplek yang sama dan semuanya membawa keluarganya masing-masing. Seiring dengan berlalunya waktu, anak-istri mereka saling kenal satu sama lain dan menjadi akrab.

Bukan cuma para pimpinan itu yang sering menghabiskan waktu bersama dalam rapat-rapat maraton, istri-istri merekapun berteman dan bersahabat dan kerap meluangkan waktu bersama. Anak-anak mereka bermain bersama.  Tak jarang mereka saling kunjung mengunjungi dalam formasi lengkap, suami-istri dan anak-anak, entah untuk urusan serius maupun sekedar untuk bancakan atau barbeque.

Proses yang seolah tak di sengaja dan tanpa disain awal itu rupanya efektif dalam membangun tim. Chemistry pun tercipta. 

Orang-orang dewasa, pintar-pintar, hebat-hebat dan sukses dengan karirnya masing-masing sebelumnya, menyerah dengan sebuah ramuan purba nan misterius bernama interaksi informal melibatkan emak-emak dan anak-anak kecil, yang kemudian menghasilkan trust.

Itulah yang kemudian menjadi modal besar mereka untuk mengurusi  tetek-bengek kerjaan di kantor yang selalu bikin esmosi , secara bersama-sama, kompak, sukses  dan nyaris tanpa hambatan yang berarti sampai selesai masa jabatan mereka.

Nah sekarang mereka diminta untuk menularkan kesuksesan itu kepada generasi pimpinan yang datang belakangan.  Dan merekapun kebingungan apa formula kekompakan dan kesuksesan mereka dahulu.

Satu diantara analisis mereka adalah karena faktor diplomasi anak-istri itu.

Karena pimpinan yang sekarang, meski mereka masih tinggal di komplek yang sama dan menempati rumah yang pernah di tempati para mantan itu, mereka datang dengan tidak membawa anak dan istri/suaminya.  Mereka tinggal sendiri-sendiri di rumah jabatan yang gude itu. Anak istri/suami tinggal di rumah atau kota yang berbeda.

Berangkat ke kantor masing-masing. Pulang masing-masing. Sampai di rumah mengunci diri di rumah masing-masing dengan kesibukan masing-masing.

Tidak ada interaksi spontan dan non-kepentingan khas anak-anak yang bisa mencairkan suasana.  Tidak ada kehangatan sentuhan lembut khas para istri yang bisa melumerkan kebekuan, dan seterusnya.  Sehingga kebekuan di kantor terus dibawa ke tempat mereka tinggal. Dan sebaliknya, kebekuan di rumah dibawa ke kantor. Tidak ada faktor pelumas lain di tengah-tengahnya.

Hal-hal kecil bisa meledak menjadi konflik besar. Kepentingan bangsa dan negarapun terancam oleh situasi itu.

Saya ingat tim kesayangan saya Barcelona FC.

Satu diantara faktor penting yang membuat Barca superior dalam beberapa dekade ini adalah filosofi klubnya  Mes Que un Club (Lebih dari sekedar klub). Barca FC – yang baru ditinggalkan gelandang kesayangan saya Andres Iniesta itu—bukan sekedar sebuah klub sepakbola.

Itu adalah sebuah keluarga.

Para pemain tidak ada yang egois. Bahkan sekelas Lionel Messi yang megabintang itu sadar bahwa dia bagian dari sebuah keluarga di dalam tim.  Tidak ada yang lebih penting di dalam sebuah keluarga kecuali kekompakan dan kebahagiaan bersama. 

Itu makanya mereka bermain sebagaimana sebuah keluarga, saling berbagi dan mempersilakan. Tidak berebut bola,  malah cenderung mengalirkannya dengan cepat, saling mengisi ruang kosong yang tidak ditempati anggota keluarga lain, untuk sebuah tujuan bersama yaitu terciptanya gol.

Mereka merayakan gol juga dengan cara sebuah keluarga. Tidak mengklaim itu sebagai karya pribadi, malah menyematkannya kepada orang lain.

Itu makanya si pembuat gol selalu menunjuk temannya yang memberi assist seolah mengatakan, “hey..that was your score, bro”.  Merekapun akan memastikan seluruh anggota tim saling memeluk dan merayakan bersama.  Sederhana dan tidak berlebihan. Seperti perayaan kecil di keluarga.

Di luar lapangan mereka bawa serta anak-istri mereka untuk saling mengunjungi. Pergi liburan bareng dengan seluruh anggota keluarga pemain di ajak. Bahkan –ini tradisi yang khas Barca—mereka selalu membawa serta anak-istri mereka ke dalam lapangan dalam perayaan kemenangan seperti menjuarai Liga Champions atau La Liga Spanyol, bersama para fans. 

Filosofi itu mampu mengantarkan para bintang yang bermain di Barca, betah bermain berlama-lama.  Tidak jarang di sepanjang karir professional mereka. Karena mereka bermain bukan semata untuk diri mereka sendiri.  Mereka bermain untuk anak-istri mereka yang juga bersahabat dengan anak-istri pemain lainnya.

Seperti  persahabatan antara Lionel Messi dengan Luiz Suarez. Persahabatan dua pemain mega- bintang yang melibatkan anak-istri mereka.  Mungkin itu yang membuat kolaborasi mereka begitu menakutkan di atas lapangan.

Dan mungkin itu juga faktor yang membuat para mantan pimpinan lembaga negara itu bisa demikian kompak di masa lalu.

Tangerang, 24 April 2018


FAKTA: THE SCIENCE OF COLLABORATION

Professor Benjamin Jones dari Kellog Business School Northwestern University, USA menjelaskan mengapa kolaborasi demikian sangat penting dalam konteks zaman modern.

Menurut  Prof. Jones, pengetahuan manusia kian hari kian terspesialisasi. Banyak hal baru yang terjadi atau ditemukan di dunia ini setiap hari, sehingga kemampuan individu untuk menguasai semua info dan pengetahuan itu semakin menurun. Disitulah dibutuhkan kolaborasi, untuk saling mengisi titik-titik yang kosong dari tiap individu.
 
TIPS UNTUK MEMBANGUN KOLABORASI

1.  MENCIPTAKAN LINGKUNGAN FISIK YANG COLLABORATIVE-FRIENDLY
Kolaborasi yang sukses bukan sekedar kerja sama, mereka juga berbagi ruang kerja Bersama. Ruang kerja bersama (Share space) adalah cara dan mekanisme yang penting untuk memungkinkan kolaborasi. Jika tidak ada ruang bersama, kolaborasi tidak aka nada.

2. BANGUN UPAYA KOLABORATIF DALAM TIM SESUAI KONDISI YANG DIHADAPI
Oleh karena kebutuhan pekerjaan atau proyek tertentu, anda mungkin perlu bongkar pasang tim sesuai dengan kompetensi dan spesialisasinya masing-masing. Bangun tim, dorong kolaborasi dengan kompetensi masing-masing, bubarkan tim jika sudah selesai, bangun tim baru lagi untuk proyek yang lain, dan begitu seterusnnya.

3.   HILANGKAN SUMBER-SUMBER YANG MEMBUAT TIDAK BISA BERKOLABORASI
Rutinitas, seperti meeting berkepanjangan, membalas email, conference call dan lain-lain kadang menyita waktu banyak dan akhirnya anda lupa untuk berkolaborasi dengan tim. Mungkin anda perlu membuat inisiatif seperti HARI TANPA MEETING atau NO EMAIL REPLY TODAY, untuk memastikan anda memiliki waktu untuk sekedar duduk dan ngobrol bareng dengan tim dan mengeksplorasi persoalan.

4. BERI PENGHARGAAN PADA KOLABORATOR TERBAIK
Riset menunjukan ada 3 – 5 persen karyawan yang dapat membuat upaya kolaborasi lebih baik  20 – 35 %. Artinya mereka adalah contoh riil dari upaya kolaboratif. Kemanapun mereka pergi semangat berkolaborasi muncul dan kinerja meningkat.
Hargai mereka dengan reward dan penghargaan yang sesuai dan jadikan mereka model dari kolaborasi ini.



Sumber:
https://alidamanik.net/2018/04/24/diplomasi-anak-istri/#more-302

Tentang Penulis - Ali Damanik
Leadership Development
Leadership Development

Ali Damanik

Ali Damanik adalah praktisi, trainer dan  pembicara publik dalam program pengembangan kepemimpinan (Leadership Development) dan Sumber Daya Manusia.
Merupakan Co-Founder dan Partner dari Kinerja-BlessingWhite, sebuah firma konsultan pengembangan SDM dan Kepemimpinan, yang merupakan exclusive partner dari BlessingWhite Inc, yang berpusat di New Jersey – USA dan beroperasi di lebih dari 60 negara di seluruh dunia.
Pernah bekerja sebagai professional di Bank Niaga, Citibank dan Paragroup (CT Corpora), konsultan di Dunamis Organization Services dan MarkPlus Inc, serta pengajar dan peneliti di FISIP UI.
Menyelesaikan studi di Departemen Sosiologi FISIP-UI, Dept of International Studies, Ohio University, USA dan Program Pasca Sarjana, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada (UGM).

Saat ini tinggal di Tangerang dan dapat dihubungi di This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.
Blog pribadi www.alidamanik.net


Explor Your Next

Journey

Physiological respiration involves the meensure the composition of the functional residual.