Vonis Hukuman Juliari Batubara Diringankan: Lantaran Sering Di-Bully Publik?

"Terdakwa sudah cukup menderita dicerca, dimaki, dihina oleh masyarakat. Terdakwa telah divonis oleh masyarakat telah bersalah padahal secara hukum terdakwa belum tentu bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap," tutur hakim.

Itulah salah satu pertimbangan majelis hakim yang meringankan hukuman bagi Juliari P. Batubara. Alasan meringankan yang lainnya sih klasik, seperti biasanya saja.

Vonisnya 12 tahun penjara, dari tuntutannya yang “cuma” 11 tahun. Seolah ada bonus setahun. Apakah ini semacam ‘psychological-game’ semata? Ya wallahualam, silahkan ditimbang-timbang sendiri, andai saja kita masih menganggap bahwa korupsi itu adalah kejahatan luar biasa.

Lebih luar biasa lagi dilakukannya semasa ada bencana kesehatan nasional, situasi negara sedang krisis, kesulitan ekonomi dan di tengah penderitaan rakyat yang lagi menunggu bantuan sosial dari pemerintahnya sendiri.

Kembali ke soal pertimbangan majelis hakim yang rada aneh tadi. Lantaran katanya sudah di-bully habis-habisan oleh publik maka hukumannya pun dipertimbangkan untuk keringanannya.

Jadi logikanya, jika saja publik tidak mencerca, tidak memaki dan tidak menghina Juliari Batubara setelah ia ketahuan korupsi, apakah hukumannya bakal dipertimbangkan oleh majelis hakim untuk tidak diringankan?

Apakah supaya pertimbangannya jadi memberatkan terdakwa maka publik malah justru mestinya memuji-muji dan mengelu-elukan Juliari? Duh… puciiiing!

Rupanya penderitaan lahir dan batin dari masyarakat luas (yang haknya telah dicuri oleh Juliari) itu tidak menjadi pertimbangan. Hanya penderitaan lahir dan batin dari terdakwa Juliari saja yang jadi pertimbangan.

Lalu apakah semangat supaya ada efek-jera dari setiap vonis hukuman pidana korupsi cuma terdampar hanya sebagai sloganisme belaka?

Publik pun banyak yang bertanya dan berseru, kenapa tidak penjara seumur hidup? Miskinkan saja para koruptor itu! (bahkan sempat ada wacana hukuman mati segala).

Kali ini kita mau singgung yang soal memiskinkan koruptor itu saja. Perkara hukuman lainnya sudah banyak dibahas rekan lainnya.

Miskinkan koruptor itu! Sebetulnya memang inilah hukuman yang paling bikin gentar para koruptor. Motif keserakahan.

Tapi bukankah untuk memiskinkan mereka itu maka hartanya mesti dirampas dulu oleh negara? Lalu apa landasan hukum bagi aparat hukum untuk perampasan aset (harta) para koruptor itu?

Jawabnya sederhana. Mesti ada Undang-Undang yang melegalisasi tindakan negara untuk bisa merampas aset (harta) para koruptor itu. Kalau tidak, nanti negara bisa dituduh sebagai perampok lho.

Apakah UU itu sudah ada? Belum! Apakah Rancangan UU-nya sudah ada konsepnya? Ya sudah ada. Bahkan konsepnya sudah sejak tahun 2012, sudah 9 tahun lalu. Ada di mana, nyangkutnya dimana sih? Ada di gedung parlemen, alias di DPR-RI, ya nyangkut di situ.

Kenapa belum dibahas oleh DPR-RI dan lalu disahkan jadi UU? Nah, itu pertanyaan yang bagus.

Mari sama-sama kita tanyakan ke parlemen. Bukankah mereka adalah wakil-wakil rakyat yang kita pilih sendiri dalam pileg kemarin itu?

Ada 575 orang wakil rakyat di DPR-RI saat ini. Komposisinya terdiri dari 9 parpol, dengan rincian sebagai berikut:

PDIP (128 orang), Golkar (85), Gerindra (78), Nasdem (59), PKB (58), Demokrat (54), PKS (50), PAN (44), PPP (19).

Sudah sampai dimana pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset para koruptor itu? Kabarnya RUU ini cukup luas cakupannya.

“People have become disillusioned with parliament, and that threatened democracy.” – John Rhys-Davies.

23/08/2021
Andre Vincent Wenas, pemerhati ekonomi-politik.


Tentang Penulis - Andre Vincent Wenas
Kolomnis/Penulis
Kolomnis/Penulis

Andre Vincent Wenas, DRS., M.M., M.BA.

  • Tempat/Tgl Lahir : Surabaya, 15 Feb 1965
  • Status : Menikah, 2 anak.
  • Pendidikan formal : MBA (Monash University), MM (IPMI Int’l Business School), DRS (Universitas Padjadjaran).
  • Executive Programs : Astra General Management Program (AGMP), Asian Institute of Management (Manila-Philippines), Haggai Institute (HawaiiUSA), Organizations Dynamics (Singapore), Balanced ScoreCard (Palladium, Jakarta)
  • Lain-lain : Program Matrikulasi Filsafat (STF Driyarkara, Jakarta), training di bidang: finance, accounting, quality management, HR, sales & marketing, leadership, etc.
Karir Profesional :
  • 2019 : Senior Consultant (Direksi PT Maxi Integra Indonesia - Management Consulting)
  • 2018 : Direksi PT Garuda Raja Paksi Tbk (Steel Industry)
  • 2015 – 2017 : Direksi PT Cemindo Gemilang (Semen Merah Putih)
  • 2011 – 2014 : Wk.Ketua Komite Tetap untuk Industri Pengolahan Makanan, Minuman & Tembakau KADIN Indonesia.
  • 2010–2014 : President Director PT Permata Tene, Director PT Makassar Tene, Director PT Sumatera Tonggi, Komisaris PT Tapin Coal Terminal, Sekretaris Jenderal AKINDO (Asosiasi Kedelai Indonesia), Wakil Ketua AGRI.
  • 2005–2010 : Chief of Corp. Human Capital Garudafood Group & President Director PT Garuda Solusi Inti.
  • 2001–2003 : Managing Director di Salim Group (PT PepsiCola Indobeverages, PT Indofood Fritolay, PT Indofood Sukses Makmur Tbk).
  • 1995–2001 : General Manager di Astra Group (PT Astra International Tbk & PT Astra Agro Lestari Tbk). ;
  • 1989–1995 : Senior Account Manager, PT Masa Sarana Advertising, Hakuhodo, Dai-Ichi Kikaku, Asatsu.
  • Kegiatan Lain : – Kolomnis/penulis di: Majalah MARKETING, Tabloid KONTAN, Kompas, dll. Komentator Radio PAS-FM, Green Radio, SmartFM, dll. - Kader PSI (Partai Solidaritas Indonesia), caleg DPR-RI daerah pemilihan Sulawesi Utara pada pileg 2019. – Dosen tamu/guest lecturer di: IPMI International Business School, Institut Bisnis Nusantara, Universitas Paramadina, Bakrie University, President University, Program MM-UI, dll

Artikel Lainnya


Explor Your Next

Journey

Physiological respiration involves the meensure the composition of the functional residual.