Filosofi Sembahyang, Netepan dan Sholat

Masih banyak orang yang menyebut istilah Sholat dengan kata Sembahyang. Sebagian orang menentang kata terakhir karena dianggap bukan bahasa Arab dan juga bukan berasal dari kosakata bahasa Indonesia. Kata sembahyang dikonotasikan sebagai bahasa Sangsekerta dan dikaitkan dengan peninggalan ajaran agama Hindu. Kata Sembahyang berarti menyembah pada sesuatu yang dianggap Dewa atau Tuhan.

Sebelumnya, para orang tua di tataran Tanah Sunda menyebut ritual Sholat dengan kata "Netepan". Berasal dari kata "tetep" dan berakhiran "an". Artinya, menetapkan sesuatu yang sudah menjadi keyakinan dan perbuatan baik.

Dua kata yg berbeda di atas, "Sembahyang dan Netepan", sama-sama berkembang menjadi kosa kata yang akrab dengan kegiatan Sholat di masa lalu. Hingga sekarang pun para orang tua masih sering menyebut dan memakai kalimat tersebut saat hendak menunaikan Sholat.

Sepintas arti dua kata itu terkesan bertentangan satu sama lain. Yang satu (Sembahyang) berorientasi ke Hindu-Hinduan, yang satu lagi ke Sunda-Sunda-an.

Sedangkan sholat itu sendiri berasal dari bahasa Arab yang arti etimologinya yaitu doa.

Mengapa kata Sembahyang dan Netepan seperti hendak tersingkir dan digantikan posisinya oleh semata kata Sholat?

Ini yang agak keliru dan salah kaprah sehingga pengertian Sholat itu sendiri menjadi dangkal karena ada reduksi makna yang dalam dan fundamental ketika kata "Sembahyang" dan "Netepan" hendak dihilangkan.

Ketiga kosa kata itu (Sembahyang, Netepan dan Sholat) tidak bisa dipisahkan. Justru harus dipadukan menjadi kesatuan makna yang tak terpisahkan saat seorang muslim hendak merefleksikan bentuk-bentuk keyakinannya kepada Sang Maha Pencipta. Hanya saja penafsiran untuk masing-masing kata tersebut yang harus di re-interpretasi dengan benar.

Kata Sembahyang, selama ini diartikan dengan konotasi "menyembah". Sembahyang berarti menyembah Dewa atau Tuhan. Ini pengertian yang salah, dangkal dan malah menyimpang.

Sembahyang sebetulnya punya makna sangat dalam, aktif dan inovatif. Bukan menyembah, tetapi Sembahyang itu arti sesungguhnya ialah "mempersembahkan" sesuatu kepada "Hyang" (Dewa, Tuhan), dalam berbagai bentuk karya dan pengabdian setelah Allah memberikan kesempurnaan kepada mahlukNya yang bernama manusia.

"Netepan" artinya menetapkan apa yang sudah diyakini ada, baik dan benar. Perintah Sholat itu datang belakangan (yakni saat Isra Mi'raj) setelah Muhammad menjadi Nabi dan diminta untuk menyampaikan Syi'ar Islam.

"Netepan" artinya Istiqomah, fokus, konsisten. Menetapkan keyakinan, pikiran, ucapan, amal perbuatan, sesuai keyakinan yang kuat kepada Sang Pencipta. Supaya tetap fokus dan konsisten, maka sholat harus dijalankan selama lima waktu.

Sholat itu sendiri berarti doa, zikir, tafakur, bersyukur dan mengaitkan hati dengan Ruh para Nabi hingga memasrahkan secara totalitas hidup dan mati kepada Sang Khalik .

Jadi, persembahkanlah kesempurnaan (Sembahyang) kita sebagai manusia dengan karya dan totalitas pengabdian, lalu tetapkan (Netepan), mantapkan, fokus, konsisten, dan ikat dengan doa (Sholat) sepanjang waktu. Itulah siklus kehidupan (ekosistem) Insan Kamil (manusia sempurna).

Get the feeling.

Uten S, Budak Angon

Serpong 2018.
Tentang Penulis - Uten Sutendy
Leadership Development
Leadership Development

Uten Sutendy

Uten Sutendy, karirnya sebagai penulis buku dimulai sebagai wartawan yang bekerja di beberapa media. Tahun 1990-an aktif sebagai wartawan di Media Indonesia. Kemudian hijrah ke Palembang dan Lampung Sumatera Bagian Selatan bekerja sebagai redaktur di Harian Umum Sumatera Expres dan Lampung Post, dua– duanya anak perusahaan Media Indonesia Group. Dunia broadcasting pun ditekuninya. Pada tahun 1995 saat menjadi Manajer Program pada Radio Kharisma FM Lampung, beliau mengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Politik (SETIAL)Bandar Lampung. Di tengah kesibukannya sebagai wartawan, dosen, penyiar, bersama teman- teman aktivis, penulis, dan akademisi, ia mendirikan Forum for Information and Regional Development Studies (FIRDES), sebuah forum diskusi untuk kajian pembangunan daerah.

Pada tahun 1994, ia mendapat undangan dari Kedutaan Besar Malaysia dan Brunei Darussalam untuk studi komparasi perkembangan Pers ASEAN. Kesempatan itu ia pergunakan juga untuk penelitian Kebud ayaan Melayu Baru di beberapa negara meliputi Brunai Darussalam, Malaysia, Singapura dan Pattani, sebuah wilayah komunitas Melayu Muslim di Thailand. Tahun 1995, pria kelahiran 04 April 1966 ini, kembali ke Jakarta, bekerja di beberapa media, diantaranya di Harian Umum Berita Yudha, Redaktur Majalah Ekonomi dan Agrobisnis, Tropis, sebelum kemudian aktif di Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) DKI Jakarta tahun 1998 sebagai sekretaris eksekutif dan di Kamar Dagang dan Industri (KADIN), serta di Ormas Nasional Demokrat (NASDEM). Kini sarjana filsafat dari UIN Jakarta ini aktif selain sebagai penulis buku, dosen, juga Presiden Direktur Media Komunika, perusahaan yang bergerak di bidang jasa konsultan media, public relation, publishing dan event organizer. Dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan yang dipimpinnya banyak menerbitkan buku-buku, majalah dan tabloid.

Buku-buku yang pernah ditulis dan disunting bersama teman-temannya, antara lain Editorial Kehidupan Surya Paloh (Pemilik Media Indonesia Group dan Metro TV), Kiat Sukses Menjadi Pengusaha (LP3I, Jakata 1998), Merumuskan Kembali Konsep Ke-Indonesiaan, Menuju Rekonsiliasi Politik, Budaya dan Restrukturisasi Ekonomi (Lembaga Pengkajian Strategis FKPPI 2001).

Buku-buku karya pribadinya ialah Kesetiaan, Kejujuran, dan Kesederhanaan untuk Bangsa (Suara Pembaharuan 2002), Perjuangan, Pemikiran dan Pengabdian Rahmat Shah (Konsul Kehormatan Republik Turki untuk Sumatera Utara dan Pemburu Internasional), Biografi Perjuangan Mutiara, Pengabdian dan Kesetiaan Tiada Akhir Isteri Seorang Pejuang (Media Komunika, Banten, 2007), dan Damai dengan Alam, Kearifan Hidup Orang Baduy (Media Komunika 2010), Bait Cinta di Tanah Baduy (Glow Communication, 2015), “Menguak Tabir Surga, Kumpulan Puisi”, 2017 (HW Project, Jakarta), “Menuju Jalan Baru”, 2016 (Citra Media Jakarta).

Explor Your Next

Journey

Physiological respiration involves the meensure the composition of the functional residual.