Tanggung Renteng Dalam Kaidah Gotong Royong

Tanggung renteng adalah istilah hukum yang digunakan untuk menggambarkan kemitraan atau kelompok individu lain di mana setiap individu bernama berbagi tanggung jawab secara setara. Dikutip dari Bank Indonesia, tanggung renteng adalah joint and several liability yaitu tanggung jawab para debitur baik bersama-sama, perseorangan, maupun khusus salah seorang di antara mereka untuk menanggung pembayaran seluruh utang; pembayaran salah seorang debitur mengakibatkan debitur yang lain terbebas dari kewajiban membayar utang. Dalam  tuliasan  Fajria Anindya Utami (https://wartaekonomi.co.id/read383456/apa-itu-tanggung-renteng) istilah ini mencuat dalam konteks perekonomian perkoperasian

Tanggung renteng, beberapa saat ini menjadi istilah dalam perkoperasian, dengan menggapai 10 orang dalam satu kelompok, dicairkan hutang yang bebannya menjadi tanggung jawab 10 orang.  Apabila dalam perjalanan hutang piutang ini dalam 1 orang dalam kelompok tersebut, tidak dapat membayar maka 9 orang didalamya akan menanggung ketidak mampuan membayar 1 orang tersebut. Dengan kejadian tersebut maka penulis merasa kejadian tanggung renteng ibarat istilah gotong royong yang di pikul bersama dengan mengutamakan asas kekeluargaan. Sehingga semua dipaksa relakan untuk dapat tertib dan disiplin dalam bidang apapun baik secara individu maupun secara kelompok.

Gotong royong sangat klasik bagi setiap orang namun tanpa di sadari gotong royong sudah melekat erat pada kehidupan masyarakat, Sementara itu gotong royong ataupun tolong-menolong sangat membantu anggota masyarakat yang pada umumnya tidak mempunyai modal yang mencukupi untuk melakukan seluruh kegiatan hidupnya jika setiap transaksi kegiatan dibayar dengan uang dan benda-benda modal lainnya. Dengan demikian gotong royong untuk membantu kehidupan individu keluarga sangat mempunyai arti. Dilain pihak mengharapkan kegiatan gotong royong untuk pembangunan juga diperlukan sejumlah dana yang mencukupi. Jadi tegasnya perpaduan antara kegiatan gotong royong dalam segala bentuknya dengan penyediaan-penyediaan dan dan fasilitas tertentu harus dikombinasikan sedemikian rupa sehingga pembangunan tersebut dapat dijalankan secara efektif dan efisien.

Sikap gotong royong yang dilakukan masyarakat dalam kehidupannya memiliki peranan dan manfaat yang sangat penting. Dengan adanya gotong royong, segala pem asalahan dan pekerjaan yang rumit akan cepat terselesaikan jika dilakukan kerjasama dan gotong royong diantara sesama penduduk di dalam masyarakat, Pembangunan akan cepat terlaksana apabila masyarakat didalamnya bergotong royong dan berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan tersebut. Hal ini senada dengan pendapatnya Azinar Sayuti, (1983:187)sebagai berikut:

“Segi lain yang dapat diperoleh faedahnya dari gotong royong ini adafah rasa keikutsertaan dan tanggung jawab bersama warga masyarakat bersangkutan dalam usaha pembangunan baik dalam bentuk fisik maupun nonfisik atau menurut bidang-bidang kehidupan yang terdapat dilingkungan masyarakat setempat.“

Sementara itu bidang perekonomian di Indonesia diharapkan dapat memenuhi segala kebutuhan masyarakat Indonesia dan mensejahterakannya. Dalam bidang ekonomipun diharapkan adanya peran serta masyarakat dalam bergotong royong, memajukan perekonomian bangsa. Hal ini disebabkan karena sistem perekonomian Indonesia berdasarkan azas gotong royong. Hal ini selaras dengan pendapat yang dikemukakan oleh Azinar Sayuti (1983:184) dalam bukunya sebagai berikut:

“Didalam bidang perekonomian , walupun bentuk kegiatan yang dilakukan secara gotong royong telah ada yang punah dan mundur, maka jiwa gotong royong dalam bidang ini tidak akan punah secara keseluruhan”

Menurut  Tadjuddin (2013) dalam Budaya Gotong-Royong Masyarakat pada perubahan sosial saat ini, catatanya bahwa akhir-akhir ini masyarakat terindikasi mengalami kekacauan sosial karena dalam relasi sosial meninggalkan semangat dan nilai-nilai gotong royong., Tajjudin  menuliskan kembali catatan sejarah tentang gotong royong  yang di cetuskan oleh Sukarno selaku Presiden RI, dimana Sukarno menegaskan:

“Dasar-dasar Negara” telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma ini tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai Panca Indra. Apalagi yang lima bilangannya? (seorang yang hadir: Pendawa Lima). Pendawa pun lima orangnya. Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima pula bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma; tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa namanya Panca-Sila. Sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi. Atau barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu? Saya boleh peras, sehingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah perasan yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, Weltanschauung kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan perikemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah dahulu yang saya namakan socio-nationalisme. Dan demokrasi yang bukan demokrasi Barat, tapi politiek-economische-democratie, yaitu politieke-democratie dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu: inilah yang dulu saya namakan socio-democratie. Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: socio-nationalisme, socio-demokratie, dan ke–Tuhanan. Kalau tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua tuan-tuan senang kepada Tri Sila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu? Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan Negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadi Koesoema buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia! – semua buat semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotong-royong”. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong. “Gotong-royong” adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari “kekeluargaan”, saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu faham yang statis, tetapi gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo: satu karyo, satu gawe! Gotong-royong adalah membanting tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagian semua. Holupis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah gotong-royong.”

Gotong royong merupakan budaya yang telah tumbuh dan berkembang dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia sebagai warisan budaya yang telah eksis secara  turun-temurun. Gotong royong adalah bentuk kerja-sama kelompok masyarakat untuk mencapai suatu hasil positif dari tujuan yang ingin dicapai secara mufakat dan musyawarah bersama.

Dalam jurnal Wulandari  (2020) menyatakan Gotong-royong muncul atas dorongan keinsyafan, kesadaran dan semangat untuk mengerjakan serta menanggung akibat dari suatu karya, terutama yang benar-benar,  secara bersama-sama, serentak dan beramai-ramai, tanpa memikirkan dan mengutamakan keuntungan bagi dirinya sendiri, melainkan selalu untuk kebahagian bersama, seperti terkandung dalam istilah ‘Gotong.’ Didalam membagi hasil karyanya, masing-masing anggota mendapat dan menerima bagian-bagiannya sendiri-sendiri sesuai dengan tempat dan sifat sumbangan karyanya masing-masing, seperti tersimpul dalam istilah ‘Royong’. Maka setiap individu yang memegang prinsip dan memahami roh gotong royong secara sadar bersedia melepaskan sifat egois. Gotong royong harus dilandasi dengan semangat keihklasan, kerelaan, kebersamaan, toleransi dan  kepercayaan. Singkatnya, gotong royong lebih bersifat intrinsik, yakni interaksi sosial dengan latar belakang kepentingan atau imbalan non-ekonomi.

(Wulandari Harjanti)

 

Daftar Pustaka

Azinar Sayuti (1983) Sistem Ekonomi Tradisional Sebagai Perwujudan Tanggapan Aktif Manusia terhadap Lingkungan Daerah Sumatera Barat, Padang : Depertemen Pendidikan Dan Kebudayaan Proyek Inventaris dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah .

Tadjuddin Noer Effendi (2013) , Budaya Gotong-Royong Masyarakat dalam Perubahan Sosial Saat Ini Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 2 No.1 , Mei

Wulandari Harjanti, Ujianto, Akhmad Riduwan (2020) Environmental Dynamics and Potential Development of Woven Sarong Business Based on Local Wisdom, International Journal of Management Sciences and Business Research (http://www.ijmsbr.com/publications-of-ijmsbr/article/1361/)

 

Tentang Penulis - Wulandari Harjanti
Dosen & Kaprodi
Dosen & Kaprodi

Wulandari Harjanti

Dr. Wulandari Harjanti, S.Sos., S.E., M.M. adalah seorang Dosen Pegawai Negeri Sipil dari Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi VII Jawa Timur, yang diperkerjakan pada Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Mahardhika, berdedikasi dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi, serta memiliki Sertifikasi Pendidik dan aktif mengajar pada program Studi Manajemen. Saat ini bertugas sebagai Kepala Program Studi Akuntansi di STIE Mahardhika. 


Explor Your Next

Journey

Physiological respiration involves the meensure the composition of the functional residual.